Laki-laki ( pekerja ) itu diam dalam lamunan,

Lalu seringlah dikeluh kesah tentang nasib yang menimpanya,

Ternanti-nanti rezeki,

Goyang kaki, 

Nikmati rokok,

Sebatang selesai dilunak dipijak,

Sebatang demi sebatang,

Hingga tak terisi kotak rokok itu,


Lalu mengadulah si laki-laki itu

tentang nasibnya yang tidak setimpal,

Dimarah-marah aku ( pekerja ) biarpun sudah usaha keras.


" Bila duitku masuk?"

Besarlah nadanya menyentak jantungku.

Lalu kupertahankan usahaku yang dalam diam sudah bermati-matian.


Setelah berbulan-bulan lamanya penantian,

Akhirnya segala usahaku didengari,

Bukan dia,

Tapi orang atasan yang lebih prihatin tentang tujuan dan usahaku dalam diam.


Lalu,

Si dia ini baru muncul,

Dan berterima kasihlah dia kepadaku,

" Kenapa saya tidak kerja dari dulu?"

Tergamam di hati kecil ini bermain sinis dalam diam,

" Lalu, sekarang baru kamu mengerti betapa lamanya usahaku ? Jadi, selama ini baru kau sedar tentang tanggungjawab bekerja sebagai suami kepada 4 orang isterimu? Selama ini, rokokmu isteri yang belikan?"


Aku ini cuma semut.

Diremehkan.

Padahal berapa lama ku perjuangkan setiap satunya.


Untuk si laki - laki itu,

Setelah kau nampak hasil yang kuusahakan dalam diam selama ini,

Baru ingin mengerti betapa panjangnya usaha itu?

Sedang dunia sakit, manusia pun ikut sakit ? Lalu siapakah yang harus dipertanggungjawabkan? 

Aku?


Rezeki itu luas.

Bantuan hanyalah bantuan.

Kau juga harus kerja selebihnya

Bantuan bantu kamu kerja,

Kerja itulah hasil rezeki.

Bantuan, itu bukan hasil kamu.




Suara sinis seorang pekerja kecil sesama pekerja

( Usaha setengah mati mengurus vs usaha setengah mati menghentak )



01:21 am

04 November 2020